MEMPERHATIKAN gaya sebagian besar guru menanggapi isu pendidikan sedang berkembang ternyata cukup menarik. Tidak sedikit guru yang secara cepat menanggapi isu hanya dari berita viral di sosial media. Lalu dibangun narasi untuk framing negatif yang syukur jika tujuannya mengkritik. Namun tidak jarang berusaha membangun kebencian. Sayangnya guru ikut riak menanggapi.
Terakhir, isu penghapusan organisasi Pramuka membuat gaduh, bukan hanya di grup whatsapp pendidik, namun juga di seantero jagad nusantara. Beragam komentar mengemuka tentang Pramuka. Pro dan kontra pun tidak dapat dihindari.
Mendadak banyak guru memberi respons yang relatif mengambil dari informasi “omon-omon” atau hanya omongan saja sebagai referensi tanpa melakukan kajian dokumen terlebih dahulu. Dari sinilah terlihat kualitas literasi seorang guru. Terkadang responsif tanpa merujuk pada dokumen valid tentu saja dapat membahayakan. Dari sinilah terlihat keterampilan berpikir seseorang. Cara seseorang menanggapi sebuah informasi menunjukkan kualitas keterampilan berpikir.
Awal mula polemik keberadaan Pramuka yang mengemuka akan dihapus di sekolah terjadi setelah peluncuran secara resmi Kurikulum Merdeka. Meskipun kurikulum ini sudah diimplementasikan sejak tahun 2022 melalui payung regulasi Permendikbud Ristekdikti Nomor 262/M/2022, namun belumlah menjadi kewajiban saat itu untuk menerapkan Kurikulum Merdeka.
Pemerintah pada tahun 2022 mempersilakan bagi sekolah mengambil inisiatif menerapkan Kurikulum Merdeka. Hingga sebelum dilakukan peluncuran secara resmi pada 27 Maret 2024 lalu, sudah 70 persen sekolah di Indonesia atau sekitar 140.000 satuan pendidikan terlibat dalam program Implementasi Kurikulum Merdeka. Persentase penerapan tersebut mulai dari jenjang SD hingga SMA sederajat.
Dalam Rapat Kerja Mendikbud Ristek dengan Komisi X DPR-RI pada tanggal 6 Maret 2024, bukan hanya tentang skema makan siang gratis dan bullying saja yang dibahas. Selain itu juga semacam laporan Mendikbud Ristek Nadiem Makarim akan launching Kurikulum Merdeka melalui Permendikbud Ristek No. 12 tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah. Regulasi terbaru kurikulum tersebut tentu saja memuat kegiatan Pendidikan Kepramukaan.
Pramuka tidak wajib
Kurikulum, sebagaimana kita pahami bersama terdiri atas tiga dimensi, yaitu (1) intrakurikuler, (2) kokurikuler, dan (3) ekstrakurikuler. Pelaksanaan intrakurikuler berlangsung sebagaimana lazimnya pengelolaan pendidikan, yaitu pembelajaran tatap muka sesuai dengan standar isi dan standar proses yang diatur melalui Peraturan Menteri Pendidikan.
Kokurikuler didesain oleh Kemendikbud menjadi suatu kegiatan pembelajaran yang mendampingi intrakurikuler. Artinya wajib diampu oleh guru tertentu sebagai fasilitator sesuai dengan jenjang kelas atau fase. Kokurikuler sendiri sebenarnya mengambil jam dari kegiatan intrakurikuler sebanyak 20 hingga 30 % . Misalnya jam Matematika dialokasikan sebanyak 4 jam, maka 3 jam untuk intrakurikuler dan 1 jam untuk kokurikuler. Namun demikian, konten kokurikuler tidak menyangkut materi pembelajaran. Kokurikuler dikemas dalam aktivitas yang berbasis proses untuk menguatkan karakter siswa, sehingga diberi nama Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila.
Pendidikan Kepramukaan atau lazim disebut Pramuka merupakan salah satu dari sekian banyak kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Melalui Permendikbud Ristek No. 12 tahun 2024, tidak ada kegiatan ekstrakurikuler yang wajib di sekolah, termasuk Pramuka. Namun demikian tidaklah bermakna satuan pendidikan tidak melaksanakan kegiatan ekstrakurikuler apa pun untuk pengembangan bakat minat siswa. Justru pihak satuan pendidikan menjadi lebih luwes mengadakan organisasi atau aktivitas ekstrakurikuler.
Ekstrakurikuler sendiri meski tidak menjadi dimensi wajib dalam Kurikulum Merdeka, namun diyakini memberikan manfaat yang besar bagi peserta didik. Kegiatan tersebut dapat memupuk karakter positif siswa di antaranya kerja sama, gotong royong, mandiri serta kemampuan berinteraksi dengan orang lain. Bakat siswa juga dapat dikembangkan melalui kegiatan ekstrakurikuler. Pengembangan bakat akan membuat siswa mengenali potensi dirinya sehingga berdampak positif pada prestasi dan pola pikir siswa.
Lebih dari itu, ekstrakurikuler membangun rasa sosial siswa berkembang dengan baik. Kemampuan berkomunikasi dapat ditingkatkan dalam berbagai aktivitas. Siswa juga dapat memupuk rasa empati serta kemampuan bersosialisasi dan muara akhirnya mensyukuri segala nikmat Tuhan atas potensi yang dapat dikembangkan melalui organisasi siswa.
Banyak riset yang memaparkan ekstrakurikuler mampu membuat karakter siswa lebih baik ketimbang jika dikembangkan sebagai suplemen pada kegiatan pembelajaran intrakurikuler. Namun jika melihat spirit dan tujuan diadakan kokurikuler P5 sebagai pembelajaran wajib yang bertujuan membentuk karakter siswa lebih baik, maka menurut penulis, patut saja kegiatan Pramuka tidak lagi menjadi wajib di sekolah.
Bukan pada tren
Tidak menjadi ekstrakurikuler wajib bukan bermakna Pramuka dihapus dari satuan pendidikan. Statement ini menurut penulis yang membuat gaduh tanpa mengonfirmasi terlebih dahulu pada dokumen. Polemik yang dimulai dari gagalnya Dede Yusuf, anggota DPR RI Komisi X, memahami Permendikbud Kurikulum dengan menyebut menjadikan Pramuka bukan sebagai ekstrakurikuler wajib akan membuat organisasi ini dihapus dari satuan pendidikan.
Semakin gaduh ketika menuduh Permendikbud membuat ricuh. Padahal tidaklah demikian, keterampilan berpikir yang relatif belum paripurna pada tekstual membuat seorang seolah memiliki kewenangan untuk bicara apa saja. Terlebih seorang tersebut memiliki kuasa dan jabatan. Keadaan semakin diperkeruh oleh beberapa politisi yang menangkap diskusi tersebut dengan menuduh secara personal pada kegagalan Nadiem Makarim mengelola pendidikan sehingga membuat Pramuka dihapus.
Seperti pesan berantai yang semakin jauh semakin bias. Pesan itu ditangkap oleh guru tanpa mengonfirmasi pada sumber resmi, lalu membuat pernyataan yang semakin meresahkan. Guru kita memang belum terbangun kemampuan mengacu pada dokumen.
Lebih senang mengolah informasi yang sedang tren, mengikuti saja tanpa referensi. Kita, guru dan masyarakat luas memang lebih senang mengolah “omon-omon”. Pantas saja dunia pendidikan Indonesia masih darurat literasi numerasi termasuk pada penilaian Program International Students Assessment (PISA) tahun 2022.
Tentu saja konteksnya cukup berbeda antara dihapus dan tidak diwajibkan. Implikasinya juga tidak akan sama. Permendikbud Ristek No. 12 tahun 2024 tetap memasukkan Pramuka sebagai kegiatan ekstrakurikuler. Bahkan Pendidikan Pramuka disebut secara spesifik dibandingkan dengan berbagai kegiatan ekstrakurikuler lainnya yang tidak disebut, seperti PMR, Rohis, KIR dan sebagainya.
Pramuka dan P5
Kewajiban Pramuka di satuan pendidikan diatur dalam Permendikbud No. 63 tahun 2014. Namun sejak dulu, banyak sekolah tidak menjadikan Pramuka sebagai organisasi pembinaan siswa. Terbukti banyak sekolah di pelosok tidak memiliki nomor gugus depan. Selain karena minat siswa tidak bisa dipaksa, juga tidak tersedia sumber daya kepramukaan seperti pelatih.
Di sisi lain, sebagian siswa memiliki aktivitas tersendiri selepas pulang sekolah. Baik mencari nafkah membantu orang tua termasuk izin di sore hari. Sulit pada banyak sekolah menghidupkan aktivitas ekstrakurikuler. Maka tepatlah tidak menjadikan ekstrakurikuler apapun sebagai kewajiban termasuk Pramuka. Optimalkan pelaksanaan P5 yang dilakukan pagi hari secara terpadu mengikuti proses dimensi Profil Pelajar Pancasila. Bahkan nilai-nilai kepramukaan dapat diinsersi dalam P5. Termasuk pengembangan nilai kepramukaan dalam saka pengawasan obat dan makanan.
Sumber : serambinews.com
Berikan Komentar